A.
Pengertian
akad tabarru’
Akad tabarru’ (gratuitous contract) adalah segala macam perjanjian
yang menyangkut non-profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi
ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil.
Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong-menolong dalam rangka berbuat
kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr dalam bahasa Arab, yang artinya
kebaikan). Dalam akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak
berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad
tabarru’ adalah dari Allah SWT, bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang
berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counter part nya untuk
sekadar menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkan untuk dapat
melakukan akad tabarru’ tersebut. Namun ia tidak diperbolehkan sedikitpun
mengambil laba dari akad tabarru’ itu. [1]
B.
Jenis-jenis
akad tabarru’
1.
Hiwalah
Hiwalah ialah memindahkan utang dari tanggungan seseorang kepada
tanggungan yang lain. Dimana A mempunyai hutang ke C dan dalam waktu yang sama
B mempunyai hutang ke A. atas persetujuan bersama B melunasi hutang A ke C. Sabda
rasulullah SAW :
مطل الغني ظلم فا ذا ا حيل ا حدكم على ملى ء فليحتل "رواه ا حمد و
البيهقى"
“orang yang mampu membaya utang, haram
atasnya melalaikan utangnya. Maka apabila salah seorang diantara kamu
memindahkan utangnya kepada orang lain, pemindahan itu hendaklah diterima, asal
yang lain itu mampu membayar.” (riwayat Ahmad dan Baihaqi)
Sedangkan ijma’ para ulama’ telah
berkonsensus atas keabsahan hiwalah karena ia merupakan proses pemindahan
hutang dan bukan barang. Menurut metodologi ushul fiqh (qiyas) hiwalah dapat
dianalogikan dengan al-kafalah.[2]
Syarat-syarat hiwalah
a. Muhil (orang yang berutang dan berpiutang).
b. Muhtal (orang yang berpiutang).
c. Muhal alaih (orang yang berutang).
d. Utang muhil kepada muhtal.
e. Utang muhal alaih kepada muhil.
f. Sighat (lafadz akal).
Indikasinya dengan akad tabarru’
adalah………………………………..
2. Wakaf
Wakaf ialah menahan suatu benda yang kekal
zatnya, yang dapat diambil manfaatnya guna diberikan dijalan kebaikan. Firman
Allah SWT :
(#qè=yèøù$#ur uöyø9$# öNà6¯=yès9 cqßsÎ=øÿè?
dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. (Al-Hajj
: 77)
Sabda Rasulullah SAW :
ان عمرا صا ب ارضا بخيبرفقا ل يا رسول الله
ما تاء مر ني فيها فقا ل ان شئت حبست اصلها و تصد قت بها فتصد ق بها عمر على ان لا
يبا ع ا صلها و لا يو ر ث ولا يو هب"رواه البخا رى و مسلم"
Sesungguhnya umar telah mendapatkan
sebidang tanah di Khaibar. Umar bertanya kepada Rosulullah SAW, “apakah
perintahmu kepadaku yang berhubungan dengan tanah yang aku dapat ini?” jawab
beliau, “jika engkau suka, tahanlah tanah itu dan engkau sedekahkan
manfaatnya.” Maka dengan petunjuk beliau itu lalu Umar sedekahkan manfaatnya
dengan perjanjian tidak boleh dijual tanahnya, tidak boleh diwariskan
(diberikan), dan tidak boleh dihibahkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Inilah mula-mula wakaf yang masyhur dalam
islam. Kata imam Syafi’i, “sesudah itu 80 orang sahabat di Madinah terus
mengorbankan harta mereka dijadikan wakaf pula”.
Rukun Wakaf
a. Ada yang
berwakaf. Syaratnya
:
·
Berhak berbuat kebaikan, sekalipun ia bukan islam.
·
Kehendak sendiri, tidak sah karena dipaksa.
b. Ada barang yang
diwakafkaan. Syaratnya :
·
Kekal zatnya. Berarti bila manfaatnya diambil, zat
barang itu tidak rusak.
·
Kepunyaan yang mewakafkan, walaupun musya’ (bercampur
dan tidak dapat dipisahkan dari yang lain).
c. Ada tempat
berwakaf (yang
berhak menerima hasil wakaf tersebut). Kalau wakaf kepada orang tertentu, orang
yang berhak menerima hasil wakaf tersebut hendaknya orang yang berhak memiliki
sesuatu. Maka tidak sah berwakaf kepada anak yang masih dalam kandungan ibunya,
begitu juga kepada hamba sahaya.
Wakaf kepada umum. Berwakaf kepada umum dijalan kebaikan
adalah sah, bahkan inilah yang lebih penting, misalnya kepada fakir dan miskin,
kepada ulama, murid-murid, masjid, sekolah, untuk membuat jalan, jembatan,
benteng, dan kemaslahatan umum lainnya.
d. Lafadz, seperti “saya wakafkan ini kepada
orang-orang miskin,” atau “saya wakafkan ini untuk membuat benteng,” dan
sebagainya. Kalau mewakafkan kepada sesuatu yang tertentu hendaklah ada Kabul
(jawab) tetapi wakaf untuk umum tidak disyaratkan Kabul.
Macam-macam wakaf
Wakaf yang jelas sahnya kepada orang yang
telah ada dan terus-menerus tidak putus-putusnya. Adapun beberapa wakaf yang
dijelaskan dibawah ini adalah wakaf yang menjadi peselisihan antara beberapa
ulama tentang sah atau tidaknya :
a. Putus
awalnya, seperti
kata seseorang “saya wakafkan ini kepada anak-anak saya, kemudian kepada fakir
miskin,” sedangkan dia tidak mempunyai anak. Ini tidak sah karena tidak dapat
diberikan sekarang.
b. Putus
ditengah, umpamanya
seseorang berkata “saya wakafkan ini kepada anak-anak saya, kepada seseorang
dengan tidak ditentukan, kemudian kepada orang-orang miskin.” Menurut pendapat
yang kuat, wakaf ini sah. Diberikannya wakaf sesudah tingkatan pertama kepada
tingkatan ke tiga.
c. Putus
akhirnya, umpamanya
ia berkata, “saya wakafkan ini kepada beberapa anak A,” dengan tidak
diterangkan kepada siapa. Wakaf seperti ini sah juga menurut pendapat para mu’tamad,
sesudah habis anak dari A. sebagian ulama berpendapat bahwa hasil wakaf
diberikan kepada orang yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan orang
yang berwakaf, karena sedekah kepada family lebih utama. Tetapi sebagian ulama
yang lain bependapat diberikan kepada fakir dan miskin.
Beberapa syarat wakaf
a. Selama-lamanya, berarti tidak dibatasi dengan waktu. Maka
jika seseorang berkata “saya wakafkan ini kepada fakir miskin dalam masa satu
tahun,” wakaf seperti ini tidak sah karena bersifat sementara.
b. Tunai dan
tidak ada khiyar syarat, sebab wakaf itu maksudnya adalah memindahkan milik pada waktu itu.
jika disyaratkan khiyar, atau dia berkata, “kalau si A datang, saya wakafkan
ini kepada murid-murid” maka wakaf semacam itu tidak sah karena tidak tunai.
Kecuali kalau dihubungknan dengan mati, umpamanya dia berkata, “saya wakafkan
tanah saya sesudah saya mati kepada ulama Jakarta” maka lafadz ini sah sebagai
wasiat bukan wakaf.
c. Hendaklah
jelas kepada siapa diwakafkan, kalau dia berkata, “saya wakafkan rumah ini’ wakaf
itu tidak sah karena tidak jelas kepada siapa diwakafkannya.[3]
Indikasinya dengan akad tabarru’
adalah…………………………..
3. Wadi’ah
Wadi’ah (petaruh) ialah menitipkan suatu barang kepada
orang lain agar dia dapat memelihara dan menjaganya sebagaimana mestinya.
Firman Allah swt :
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr&
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa’ : 58)
Sabda Rasulullah saw :
ان ا بي هرير ة قا ل النبي صلي الله عليه و
سلم:اذ الا ما نة الي من ا ئتمنك ولا تخن من خا نك"رواه التر مذي"
Dari abu hurairah, “nabi saw telah
bersabda,” bayarkanlah petaruh itu kepada orang yang mempercayai engkau, dan
jangan sekali-kali engkau berkhianat, meskipun terhadap orang yang telah
berkhianat kepadamu. (HR. Tirmizi)
Hukum
menerima petaruh
a. Sunnah, bagi orang yang percaya kepada dirinya
bahwa dia sanggup menjaga petaruh yang diserahkan kepadanya. Memang menerima
petaruh adalah sebagian dari tolong-menolong yang dianjurkan oleh agama islam.
Hukum ini (sunnah) apabila ada orang lain yang dipetaruhi. Tetapi kalau tidak
ada yang lain, hanya dia sendiri, ketika itu ia wajib menerima petaruh yang
dititipkan kepadanya.
b. Haram, apabila dia tidak kuasa atau tidak
sanggup menjaganya sebagaimana mestinya, karena seolah-olah ia membukakan pintu
untuk kerusakan atau lenyapnya barang yang dititipkan itu.
c. Makruh, yaitu bagi orang yang dapat menjaganya,
tetapi ia tidak percaya kepada dirinya, bisa jadi dikemudian hari hal itu akan
menyebabkan ia berkhianat terhadap barang yang dititipkan kepadanya.
Hukum petaruh
a. Ada barang
yang dipertaruhkan. Saratnya, milik yang sah.
b. Ada yang
berpetaruh dan yang menerima petaruh. Syarat keduanya seperti keadaan wakil atau menjadi
wakil, sah pula menerima petaruh atau berpetaruh.
c. Lafadz. Seperti : “saya petaruhkan barang ini
kepada engkau.” Jawabnya “saya terima petaruhmu.” Menurut pendapat yang sah
tidak disyaratkan adanya lafadz Kabul, tetapi cukup dengan perbuatan (menerima
barang yang dipetaruhkan). Habis masa akad wadi’ah adalah dengan matinya salah
seorang dari yang berpetaruh atau yang menerima petaruh, begitu juga apabila
salah seorangnya gila atau minta berhenti.
Akad petaruh ialah akad saling percaya.
Oleh karena itu, yang menerima petaruh tidak perlu menggantinya apabila barang
yang dipetaruhkan hilang atau rusak. Kecuali apabila rusaknya karena ia lalai
atau kurang penjagaan, berarti tidak dijaga sebagaimana mestinya. Apabila
seseorang yang menyimpan petaruh sudah begitu lama sehingga ia tidak tau lagi
dimana atau siapa pemiliknya dan dia sudah pula berusaha mencari dengan
secukupnya, namun tidak juga didapatnya keterangan yang jelas, maka barang itu
boleh dipergunakan untuk kepentingan umat islam dengan mendahulukan yang lebih
penting dari yang penting.[4]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar