Jumat, 13 Desember 2013

akad tabarru'

A.    Pengertian akad tabarru’
Akad tabarru’ (gratuitous contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut non-profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr dalam bahasa Arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah SWT, bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counter part nya untuk sekadar menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkan untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut. Namun ia tidak diperbolehkan sedikitpun mengambil laba dari akad tabarru’ itu. [1]
B.     Jenis-jenis akad tabarru’
1.     Hiwalah
Hiwalah ialah memindahkan utang dari tanggungan seseorang kepada tanggungan yang lain. Dimana A mempunyai hutang ke C dan dalam waktu yang sama B mempunyai hutang ke A. atas persetujuan bersama B melunasi hutang A ke C. Sabda rasulullah SAW :
مطل الغني ظلم فا ذا ا حيل ا حدكم على ملى ء فليحتل "رواه ا حمد و البيهقى"
“orang yang mampu membaya utang, haram atasnya melalaikan utangnya. Maka apabila salah seorang diantara kamu memindahkan utangnya kepada orang lain, pemindahan itu hendaklah diterima, asal yang lain itu mampu membayar.” (riwayat Ahmad dan Baihaqi)
Sedangkan ijma’ para ulama’ telah berkonsensus atas keabsahan hiwalah karena ia merupakan proses pemindahan hutang dan bukan barang. Menurut metodologi ushul fiqh (qiyas) hiwalah dapat dianalogikan dengan al-kafalah.[2]
Syarat-syarat hiwalah
a.       Muhil (orang yang berutang dan berpiutang).
b.      Muhtal (orang yang berpiutang).
c.       Muhal alaih (orang yang berutang).
d.      Utang muhil kepada muhtal.
e.       Utang muhal alaih kepada muhil.
f.       Sighat (lafadz akal).
Indikasinya dengan akad tabarru’ adalah………………………………..
2.     Wakaf
Wakaf ialah menahan suatu benda yang kekal zatnya, yang dapat diambil manfaatnya guna diberikan dijalan kebaikan. Firman Allah SWT :
(#qè=yèøù$#ur uŽöyø9$# öNà6¯=yès9 šcqßsÎ=øÿè?   
dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. (Al-Hajj : 77)
Sabda Rasulullah SAW :
ان عمرا صا ب ارضا بخيبرفقا ل يا رسول الله ما تاء مر ني فيها فقا ل ان شئت حبست اصلها و تصد قت بها فتصد ق بها عمر على ان لا يبا ع ا صلها و لا يو ر ث ولا يو هب"رواه البخا رى و مسلم"
Sesungguhnya umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Umar bertanya kepada Rosulullah SAW, “apakah perintahmu kepadaku yang berhubungan dengan tanah yang aku dapat ini?” jawab beliau, “jika engkau suka, tahanlah tanah itu dan engkau sedekahkan manfaatnya.” Maka dengan petunjuk beliau itu lalu Umar sedekahkan manfaatnya dengan perjanjian tidak boleh dijual tanahnya, tidak boleh diwariskan (diberikan), dan tidak boleh dihibahkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Inilah mula-mula wakaf yang masyhur dalam islam. Kata imam Syafi’i, “sesudah itu 80 orang sahabat di Madinah terus mengorbankan harta mereka dijadikan wakaf pula”.
Rukun Wakaf
a.       Ada yang berwakaf. Syaratnya :
·         Berhak berbuat kebaikan, sekalipun ia bukan islam.
·         Kehendak sendiri, tidak sah karena dipaksa.
b.      Ada barang yang diwakafkaan. Syaratnya :
·         Kekal zatnya. Berarti bila manfaatnya diambil, zat barang itu tidak rusak.
·         Kepunyaan yang mewakafkan, walaupun musya’ (bercampur dan tidak dapat dipisahkan dari yang lain).
c.       Ada tempat berwakaf (yang berhak menerima hasil wakaf tersebut). Kalau wakaf kepada orang tertentu, orang yang berhak menerima hasil wakaf tersebut hendaknya orang yang berhak memiliki sesuatu. Maka tidak sah berwakaf kepada anak yang masih dalam kandungan ibunya, begitu juga kepada hamba sahaya.
Wakaf kepada umum. Berwakaf kepada umum dijalan kebaikan adalah sah, bahkan inilah yang lebih penting, misalnya kepada fakir dan miskin, kepada ulama, murid-murid, masjid, sekolah, untuk membuat jalan, jembatan, benteng, dan kemaslahatan umum lainnya.
d.      Lafadz, seperti “saya wakafkan ini kepada orang-orang miskin,” atau “saya wakafkan ini untuk membuat benteng,” dan sebagainya. Kalau mewakafkan kepada sesuatu yang tertentu hendaklah ada Kabul (jawab) tetapi wakaf untuk umum tidak disyaratkan Kabul.
Macam-macam wakaf
            Wakaf yang jelas sahnya kepada orang yang telah ada dan terus-menerus tidak putus-putusnya. Adapun beberapa wakaf yang dijelaskan dibawah ini adalah wakaf yang menjadi peselisihan antara beberapa ulama tentang sah atau tidaknya :
a.       Putus awalnya, seperti kata seseorang “saya wakafkan ini kepada anak-anak saya, kemudian kepada fakir miskin,” sedangkan dia tidak mempunyai anak. Ini tidak sah karena tidak dapat diberikan sekarang.
b.      Putus ditengah, umpamanya seseorang berkata “saya wakafkan ini kepada anak-anak saya, kepada seseorang dengan tidak ditentukan, kemudian kepada orang-orang miskin.” Menurut pendapat yang kuat, wakaf ini sah. Diberikannya wakaf sesudah tingkatan pertama kepada tingkatan ke tiga.
c.       Putus akhirnya, umpamanya ia berkata, “saya wakafkan ini kepada beberapa anak A,” dengan tidak diterangkan kepada siapa. Wakaf seperti ini sah juga menurut pendapat para mu’tamad, sesudah habis anak dari A. sebagian ulama berpendapat bahwa hasil wakaf diberikan kepada orang yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan orang yang berwakaf, karena sedekah kepada family lebih utama. Tetapi sebagian ulama yang lain bependapat diberikan kepada fakir dan miskin.
Beberapa syarat wakaf
a.       Selama-lamanya, berarti tidak dibatasi dengan waktu. Maka jika seseorang berkata “saya wakafkan ini kepada fakir miskin dalam masa satu tahun,” wakaf seperti ini tidak sah karena bersifat sementara.
b.      Tunai dan tidak ada khiyar syarat, sebab wakaf itu maksudnya adalah memindahkan milik pada waktu itu. jika disyaratkan khiyar, atau dia berkata, “kalau si A datang, saya wakafkan ini kepada murid-murid” maka wakaf semacam itu tidak sah karena tidak tunai. Kecuali kalau dihubungknan dengan mati, umpamanya dia berkata, “saya wakafkan tanah saya sesudah saya mati kepada ulama Jakarta” maka lafadz ini sah sebagai wasiat bukan wakaf.
c.       Hendaklah jelas kepada siapa diwakafkan, kalau dia berkata, “saya wakafkan rumah ini’ wakaf itu tidak sah karena tidak jelas kepada siapa diwakafkannya.[3]
Indikasinya dengan akad tabarru’ adalah…………………………..
3.     Wadi’ah
Wadi’ah (petaruh) ialah menitipkan suatu barang kepada orang lain agar dia dapat memelihara dan menjaganya sebagaimana mestinya. Firman Allah swt :
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr&
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa’ : 58)
Sabda Rasulullah saw :
ان ا بي هرير ة قا ل النبي صلي الله عليه و سلم:اذ الا ما نة الي من ا ئتمنك ولا تخن من خا نك"رواه التر مذي"
Dari abu hurairah, “nabi saw telah bersabda,” bayarkanlah petaruh itu kepada orang yang mempercayai engkau, dan jangan sekali-kali engkau berkhianat, meskipun terhadap orang yang telah berkhianat kepadamu. (HR. Tirmizi)
            Hukum menerima petaruh
a.       Sunnah, bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia sanggup menjaga petaruh yang diserahkan kepadanya. Memang menerima petaruh adalah sebagian dari tolong-menolong yang dianjurkan oleh agama islam. Hukum ini (sunnah) apabila ada orang lain yang dipetaruhi. Tetapi kalau tidak ada yang lain, hanya dia sendiri, ketika itu ia wajib menerima petaruh yang dititipkan kepadanya.
b.      Haram, apabila dia tidak kuasa atau tidak sanggup menjaganya sebagaimana mestinya, karena seolah-olah ia membukakan pintu untuk kerusakan atau lenyapnya barang yang dititipkan itu.
c.       Makruh, yaitu bagi orang yang dapat menjaganya, tetapi ia tidak percaya kepada dirinya, bisa jadi dikemudian hari hal itu akan menyebabkan ia berkhianat terhadap barang yang dititipkan kepadanya.

Hukum petaruh
a.       Ada barang yang dipertaruhkan. Saratnya, milik yang sah.
b.      Ada yang berpetaruh dan yang menerima petaruh. Syarat keduanya seperti keadaan wakil atau menjadi wakil, sah pula menerima petaruh atau berpetaruh.
c.       Lafadz. Seperti : “saya petaruhkan barang ini kepada engkau.” Jawabnya “saya terima petaruhmu.” Menurut pendapat yang sah tidak disyaratkan adanya lafadz Kabul, tetapi cukup dengan perbuatan (menerima barang yang dipetaruhkan). Habis masa akad wadi’ah adalah dengan matinya salah seorang dari yang berpetaruh atau yang menerima petaruh, begitu juga apabila salah seorangnya gila atau minta berhenti.
Akad petaruh ialah akad saling percaya. Oleh karena itu, yang menerima petaruh tidak perlu menggantinya apabila barang yang dipetaruhkan hilang atau rusak. Kecuali apabila rusaknya karena ia lalai atau kurang penjagaan, berarti tidak dijaga sebagaimana mestinya. Apabila seseorang yang menyimpan petaruh sudah begitu lama sehingga ia tidak tau lagi dimana atau siapa pemiliknya dan dia sudah pula berusaha mencari dengan secukupnya, namun tidak juga didapatnya keterangan yang jelas, maka barang itu boleh dipergunakan untuk kepentingan umat islam dengan mendahulukan yang lebih penting dari yang penting.[4]



                                                







Tidak ada komentar: