Minggu, 15 Desember 2013

Ilmu Hadis (Studi Kritik Matan Hadis )

A.    Pengertian kritik matan hadis

Jika kritik sanad lazim dikenal dengan istilah kritik ekstern (al-naqd al-khariji), maka kritik matan lazim dikenal kritik ekstern (al-naqd al-dakhili). Istilah ini dikaitkan dengan orientasi kritik matan itu sendiri, yakni difokuskan kepada teks hadis yang meupakan intisari dari apa pernah disabdakan oleh Rasulullah, yang ditransmisikan kepada generasi-generasi berikutnya hingga ke tangan para Mukharrij al-hadith, baik secara lafdzi maupun ma’nawi.
Istilah kritik matan hadis dipahami sebagai upaya pengujian atas keabsahan matan hadis, yang dilakukan untuk memisahkan antara matan-matan hadis yang sahih dan yang tidak sahih. Dengan demikian, kritik matan tersebut, bukan dimaksudkan untuk mengoreksi arau menggoyahkan dasar agama islam dengan mencari kelemahan sabda Rasulullah, akan tetapi diarahkan kepada telaah redaksi dan makna guna menetapkan keabsahan suatu hadis. Karena itu kritik matan merupakan upaya positif dalam rangka menjaga kemurnian matan hadis, di samping juga untuk mengantarkan kepada pemahaman yang lebih tepat terhadap hadis Rasulullah.

A.    Sejarah perkembangan kritik matan hadis

1.      Masa Rasulullah
Tradisi kritik atas pemberitaan hadis telah terjadi sejak pada masa hidup Nabi Muhammad SAW. Motif kritik pemberitaan hadis bercorak konfirmasi, klarifikasi dan upaya memperoleh testimoni yang target akhirnya menguji validitas keterpercayaan berita (al-istitsaq). Kritik bermotif konfirmasi yaitu upaya menjaga kebenaran dan keabsahan berita. Kritik bermotif klarifikasi (tabayyun) yaitu penyelarasan dan mencari penjelasan lebih konkrit. Sedangkan motif kritik lain menyerupai upaya testimoni yaitu mengusahakan kesaksian dan pembuktian atas sesuatu yang tersinyalir diperbuat oleh Nabi SAW.
2.      Masa Sahabat
Kritik matan dilakukan oleh para sahabat. Mereka menolak berbagai riwayat hadis yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah keagamaan. Sebagai contoh misalnya dapat disimak reaksi Aisyah tatkala mendengar sebuah hadis yang disampaikan oleh ibn Abbas dari Umar, bahwa menurut versi Umar Rasulullah bersabda :
ان الميت ليعذب ببكا ء اهله عليه
“mayat itu akan disiksa karena ditangisi keluarganya”
serta merta Aisyah membantahnya dengan berkata “semoga Umar dirahmati Allah, Rasulullah tidak pernah bersabda bahwa mayat orang muknin itu akan disiksa karena ditangisi keluarganya, tetapi beliau bersabda :
اناللهيزيد الكا فر عذابا ببكا ء ا هله عليه
“Sesungguhnya Allah akan menambah siksa orang kafir karena ditangisi keluarganya”. Komentar Aisyah selanjutnya, cukuplah bagi kalian sebuah ayat yang menyatakan bahwa seseorang tidak akan pernah menanggung dosa orang lain.
Menyimak kasus diata, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kritik matan telah dilakukan di era sahabat. Aisyah telah mengkritik matan hadis yang dengar dari Ibn Abbas tersebut dengan cara membandingkan dan mengkonfirmasikan dengan hadis yang bertema sama, yang pernah didengar sendiri dari Rasulullah. Disamping itu Aisyah juga membandingkan dengan nash yang bobot akurasinya lebih tinggi, yakni Al-qur’an. Dengan demikian membandingkan matan hadis dengan al-Qur’an dan hadis yang lebih sahih, merupakan standar utama untuk menilai kesahihan sebuah hadis.
Kritik matan di era sahabat ternyata tidak hanya dilakukan oleh Aisyah namun juga oleh sahabat-sahabat lainnya. Al-Adlabi membuat klasifikasi besar tentang nama-nama sahabat yang terlibat pada aktivitas kritik matan ini, yakni kritik matan yang dilakukan (menurut) Umm al-Mu’minin, Aisyah, dan kritik matan yang dilakukan oleh para sahabat selain Aisyah. Untuk kritik Aisyah ditujukan kepada hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Umar, Ibn Umar, Jabir, dan Ka’b al-Akhbar. Sedangkan para sahabat selain Aisyah, dapat disebut misalnya kritik matan yang dilakukan Umar Ibn Khatab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah Ibn Mas’ud dan Abdullah ibn Abbas.
3.      Masa Thabi’in
Dasar-dasar kritik matan yang telah dibangun oleh para sahabat, pada tahap berikutnya dikembangkan oleh generasi thabi’in. Ayyub al-Sakhyani (tabi’in) misalnya, menyatakan : “jika engkau ingin mengetahui kesalahan gurumu, maka duduklah engkau (belajarlah hadis) kepada selainnya”. Maksud ungkapan tersebut bahwa untuk mengetahui kesalahan-kesalahan hadis haruslah dengan melakukan kritik, yang antara lain dilakukan dengan mempelajari hadis secara mendalam melalui perawi yang lain. Contoh kritik lainnya adalah sebagaimana hadis yang diriwayatkan al-Tirmidzi berikut :
حد ثنا عبد الله بن عبد الر حمن اخبرنا عبد الله بن صا لح عن عبد الر الر حمن بن جبير بن نفير عن ا بيه جبير بن نفير عن ابي الد ر داء قا ل كنا مع ر سو ل الله صلى الله عليه وسلم فشخص ببصر ه الي السما ء ثم قا ل هذا ا وان يختلس العلمم من النا س حتى  يقدر وا منه على شي ء التر مذ ى.
“mengabarkan kepada kami ibn shalih menceritakan kepadaku mu’awiyah ibn Shalih dari Abd al-rahman ibn Jubair ibn Nufair dari Abu Al-Darda’ berkata :kami telah bersama Rasulullah disaat itu beliau matanya terbuka memandang langit, kemudian beliau bersabda: telah tiba sekarang saat hilangnya ilmu dari manusia hingga tidak sesuatu pun yang mampu (mencegahnya)”
Dalam mengkonfirmasikan kebenaran hadis tersebut, Jubair berkata : “aku menemui Ubadah ibn  Shamid, saudaramu Abu Darda’, yang kemudian aku katakana hadis yang pernah aku dengar dari Abu Darda’ itu. Komentar Ubaidillah : “Abu Darda’ benar”.
Dari kasus diatas dapat dipahami bahwa kritik matan hadis ternyata juga berkembang di era thabi’in. penelitian hadis dengan model konfirmasi diatas, bukan berarti mereka meragukan keadilan seorang perawi, namun yang mereka kehendaki adalah keyakinan terhadap keabsahan suatu matan hadis sehingga terjaga otentitas dan orisinalitasnya.
4.      Masa Muhaddisin
Integrasi keagamaan (al-‘adalah) pembawa berita hadis mulai diteliti terhitung sejak terjadinya fitnah, yakni peristiwa khalifah Usman bin Affan terbunuh berlanjut dengan kejadian-kejadian lain sesudahnya. Fitnah tersebut menimbulkan pertentangan yang tajam di bidang politik dan pemikiran keagamaan. Sehingga keutuhan umat Islam pun terpecah belah, sebagian mengikuti aliran Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Qadariah dan Mu’tazilah. Pemuka aliran sectarian itu memanfaatkan institusi hadis sebagai propaganda dan upaya membentuk opini umat dengan cara membuat hadis-hadis palsu.

B.     Asas metodologi kritik matan

1.      Obyek forma penelitian matan
Konstruksi hadis secara sederhana tersusun atas pengantar pemberitaan (sanad al-riwayah) dan inti berita (matan hadis). Sanad berfungsi membuktikan proses kesejarahan terjadinya hadis, sedang matan mempresentasikan konsep ajaran islam terbalut dalam bahasa ungkapan hadis yang diasosiasikan kepada sumbernya.
Aplikasi metodologis penelitian matan hadis bersandar pada kriteria maqbul (diterima) dan mardud (ditolak) untuk kepentingan melandasi pemikiran keagamaan (hujjah syar’iyah) bukan bersandar pada kriteria benar atau salah menurut penilaian keilmuan rasional/empiris. Adapun obyek forma penelitian matan hadis mencakup uji ketetapan nisbah (asosiasi) ungkapan matan, uji validitas komposisi dan struktur bahasa pengantar matan atau uji teks redaksi, serta uji taraf koherensi konsep ajaran yang terkandung dalam formula matan hadis.
2.      Potensi bahasa teks matan
Menyadari proses pembentukan bahasa teks matan, maka dalam penerapan kaidah untuk menguji validitas teks terjadi mekanisme yang kondusif bagi peluang terjadinya penempatan kata sinonim (muradif), eufimisme (penghalusan), pemaparan berita selengkap kronologi kejadian atau berlaku penyingkiran, subyek berita sengaja dianonimkan lantaran kode etik sesama sahabat Nabi Saw, sampai fakta penyisipan (idraj), penambahan (ziyadah),penjelasan yangdirasa perlu (tafsir teks), ungkapan karena keraguan (syakk min al-rawiy) dan sejenisnya.
3.      Hipotesa dalam penelitian matan
Sistem seleksi kualitas hadis-hadis yang terbukukan dalam kitab hadis standar pada umumnya dioptimalkan perimbangan antara kondisi lahir sanad sesuai dengan persyaratan formal dan data kesejahteraan matan dari segala syadz dan illat yang mencedarai. Namun kondisi tersebut tidak bersifat mutlak, sehingga muhaddisin serta merta menerima hipotesa kerja “tidak berlaku keharusan bahwa sanad yang shahih pasti diikuti oleh keshahihan matannya.”
4.      Status Marfu’ dan Mawquf
Batasan marfu’ adalah suatu (pemberitaan) yang disandarkan oleh seorang sahabat, atau thabi’in atau oleh siapapun secara khusus kepada Rasulullah Saw.  Sedangkan mawquf batasan bahwa materi berita sangat berindikasi kuat sebagai hasil kreatifitas ijtihad bukan implikasi atau mensyaratkan sebagai wahyu nubuwwah.
C.    Kriteria dan tata cara mengungkap illat matan menurut al-Salafi

1.      Mengumpulkan hadis yang semakna serta mengkomparasikan sanad dan matannya sehingga diketahui illat yang terdapat didalamnya. Berkaitan dengan kaidah pertama ini, Abdullah ibn al-Mubarak menyatakan bahwa : “jika engkau berkehendak untuk mengetahui kesahihan hadis yang ada padamu, maka perbandingkanlah dengan yang lain”.
2.      Jika seorang perawi bertentangan riwayatnya dengan seorang perawi yang lebih thiqah darinya, maka riwayat perawi tersebut dinilai ma’lul.
3.      Jika hadis yang diriwayatkan seorang perawi bertentangan dengan hadis yang terdapat dalam tulisannya, atau bahkan hadis yang diriwayatkan itu ternyata tidak terdapat dalam kitabnya, sehingga oleh karenanya riwayat yang bertentangan tersebut disebut ma’lul.
4.      Melalui penyeleksian seorang syaikh bahwa dia tidak pernah menerima hadis yang diriwayatkan itu, atau dengan kata lain hadis yang diriwayatkan itu sebenarnya tidak pernah sampai kepadanya.
5.      Seorang perawi tidak mendengar (hadis) dari gurunya secara langsung.
6.      Hadis tersebut bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi atau thiqah.
7.      Hadis yang telah umum dikenal oleh sekelompok orang (kaum), namun kemudian datang seorang perawi yang hadisnya menyalahi hadis yang telah mereka kenal itu, maka hadis yang dikemukakan itu dianggap memiliki cacat.
8.      Adanya keraguan bahwa tema inti hadis tersebut berasal dari Rasulullah. [5]

D.    Urgensi kritik matan hadis

Urgensi kritik matan hadis ini tampak dari beberapa segi, diantaranya :
1.      Menghindari sikap sembrono dan berlebihan dalam meriwayatkan suatu hadis karena adanya ukuran-ukuran tertentu dalam metodologi kritik matan. Meneliti secara obyektif dan cermat terhadap matan hadis sertamencocokkannya dengan kaidah-kaidah kritik yang telah dibuat oleh spesialis hadis merupakan hal mutlak yang diperlukan.
2.      Menghadapi kemungkinan adanya kesalahan pada sanad dan matan hadis.
3.      Menghadapi musuh-musuh islam yang memalsukan hadis dengan menggunakan sanad shahih tetapi matannya tidak shahih.
4.      Menghadapi kemungkinan terjadinya kontradiksi antara beberapa riwayat.













Tidak ada komentar: